Analisis yuridis pencabutan hak politik dalam ketentuan hak asasi manusia (Studi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Nomor: 92/ Pid.Sus-TPK/2019/PN.Jkt.Pst.)
T erdakwa yang bernama Sri Wahyumi Maria Manalip ditangkap karena melakukan Tindak Pidana Korupsi secara bersama-sama dan Penyalahgunaan Jabatan. Diketahui Hakim menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik (hak untuk memilih) selama 5 (lima) tahun dan dijalankan setelah pidana pokok selesai. Penelitian ini mengambil kasus pada Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Nomor: 92/Pid.Sus-TPK/2019/Pn.Jkt.Pst. Dengan pokok masalah:(1). Apakah Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Nomor 92/Pid.Sus-TPK/2019/PN.Jkt.Pst. yang mencabut Hak Politik terdakwa sudah sesuai dengan ketentuan-ketentuan Hak Asasi Manusia mengenai Hak Berpolitik di Indonesia?(2). Apakah pertimbangan hakim pada Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Nomor 92/Pid.Sus-TPK/2019/PN.Jkt.Pst. yang menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik dalam pemilihan jabatan telah sesuai dengan aturan di Indonesia?Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut penulis melakukan penelitian secara yuridis normatif, yang bersifat deskriptif analitis dengan menggunakan data sekunder yang dianalisis secara kualitatif dengan metode deduktif sebagai penarikan kesimpulan.Berdasarkan analisis yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa:(1). Pertimbangan hakim dengan menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik (hak dipilih) dinilai tidak sesuai karena bertentangan dengan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.(2). Akibat Hukum dari Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Nomor 92/Pid.Sus-TPK/2019/PN.Jkt.Pst. tetap berlaku namun bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik tetapi hakim dinilai inkonsisten.