Hubungan antara kadar partikulat dalam ruang perkantoran dengan sindrom bangunan tinggi pada pekerja di Gedung Departemen Pekerjaan Umum
M anusia menghabiskan waktunya 80-90% di dalam ruangan. Kualitas udara yang buruk dalam ruang dapat mengakibatkan penghuninya menderita sindrom bangunan tinggi (Sick Building Syndrome). Sindrom bangunan tinggi biasanya menimpa penghuni bangunan dengan sirkulasi udara buruk yang cukup lama menghabiskan waktunya di dalam ruangan, misalnya pekerja kantor.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah kadar partikulat dalam ruang kantor Departemen PU mempunyai hubungan dengan pekerja yang menderita sindrom bangunan tinggi dan bagaimana penanggulangannya secara teknik. Penelitian dilakukan di Gedung Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta Selatan. Rancangan penelitian menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Sampling kualitas udara untuk partikulat menggunakan Dust Indicator, untuk CQ menggunakan Gas Detector, untuk suhu dan kelembaban menggunakan Heat Stress Apparatus. Pengolahan dan analisis data menggunakan statistik dengan analisa hubungan bivariat menggunakan request logit model linier dan multivariat menggunakan regresi logistik melalui SPSS for windows.Kadar tertinggi partikulat pada Gedung PU adalah 127,60 pg/m' dan terendah adalah 43,80 pg/m', apabila dibanding dengan ASHRAE 1991 maka kadar partikulat di ruang 1,2 dan 3 sudah melebihi batas paparan tahunan yaitu 75 pg/m'. Kondisi ventilasi pada Gedung PU tergolong cukup baik karena kosentrasi CQ masih berada di bawah 1000 ppm adalah merupakan gejala yang paling banyak dialami oleh penghuni gedung Departemen Pekerjaan Umum (68,1 %) diikuti oleh sakit kepala (55,2 %) dan pusing (53,4 %). Gejala-gejala yang dapat disebabkan oleh partikulat adalah iritasi mata (30,2 %), tenggorokan kering (35,3 %), hidung tersumbat (34,5 %), sesak nafas (25 %), dan batuk (44,8 %). Secara keseluruhan, sindrom bangunan tinggi belum terjadi pada penghuni Gedung Departemen Pekerjaan Umum karena hanya diderita oleh 28,4% penghuni gedung, namun apabila dilihat per ruangan maka sindrom bangunan tinggi terjadi pada ruangan 1 dan 2. Kesimpulan penelitian ini adalah tidak terdapat hubungan yang bermatma secara statistik antara variabel kadar debu dan sindrom bangunan tinggi di Gedung Departemen Pekerjaan Umum pada modelnya. Namun melalui pengkategorian antara kadar debu tinggi dan rendah, didapatkan nilai OR sebesar 1,8 yang berarti kadar debu merupakan faktor resiko terhadap terjadinya sindrom bangunan tinggi pada Gedung Departemen Pekerjaan Umum. Kadar debu dan kondisi ventilasi mempunyai hubungan linier positif. Sedangkan antara kadar partikulat dan kondisi ventilasi tidak Pada Gedung Departemen Pekerjaan Umum, pengendalian yang dapat dilakukan adalah pembatasan aktivitas merokok di dalam ruang, mengurangi kepadatan penghuni dan perubahan tata letak meja, kumi dan leinari untuk mencegah terjadinya cross infection mengganti saringan udara dalam penyegar udara sentral secara teratur, dan penambahan filter berserat pada sistem HVAC.