Perlindungan hukum penerima waralaba dengan merek “shimgi†yang belum terdaftar di Indonesia
B Bahwa dalam praktek waralaba sehari-hari di Indonesia, waralaba sangat erat hubungannya dengan Hak Kekayaan Intelektual, salah satunya adalah merek yang tunduk pada Undang-undang Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis namun waralaba terkait merek tidak diatur secara jelas dalam Undang-undang tersebut, pelaku usaha waralaba merek pada umumnya hanya berdasarkan perjanjian biasa saja.Sebagaimana kita ketahui Undang-undang Merek dibuat untuk mendapatkan kepastian hukum bagi para pihak yang berkepentingan namun tidak terperinci mengenai waralaba sehingga mengacu pada asas hukum yaitu lex superior derogat legi inferiori, lahirlah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71 tahun 2019 tentang Waralaba, yang mana lebih mengatur tentang waralaba secara terperinci untuk para pihak sehingga pihak yang akan mengadakan perjanjian dapat menggunakan acuan ketentuan yang diatur dalam Pasal 2 dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 71 tahun 2019 tentang Waralaba yang menjelaskan dan menegaskan tentang kriteria yang harus dipenuhi dalam klausula-klausula perjanjian waralaba.Dalam Undang-undang dan peraturan tersebut jelas apabila suatu merek akan diwaralabakan maka salah satu syaratnya adalah Hak Kekayaan Intelektual yang terdaftar di Indonesia, untuk membuat suatu merek agar menjadi terdaftar di Indonesia maka diperlukan tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh para pihak dalam mendaftarkan mereknya.Apabila merek yang belum terdaftar namun digunakan serta dijadikan objek waralaba, maka akan menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi penerima waralaba, banyak kasus-kasus terkait waralaba yang pernah terjadi dan cukup fenomenal. Kasus-kasus tersebut mempunyai karakteristik yang kurang lebih mirip, yaitu kondisi merek yang menjadi objek perjanjian belum terdaftar.