Penerapan hukum first to use, first to file ,dan itikad baik dalam sengketa pendaftaran merek antara BMW Jerman dengan BMW Indonesia telaah putusan Mahkamah Agung No.29PK/PDT.SUS-HKl/2016
P Persaingan usaha menuntut masing-masing pelaku usaha untuk menciptakan inovasi yang lebih kreatif dan memiliki daya jual yang tinggi agar tetap eksis di dalam dunia usaha. Dalam era perdagangan global, kendala dalam dunia usaha adalah bahwa dunia usaha tidak mengenal batas (borderless). Merek merupakan salah satu upaya strategis untuk mempromosikan usaha kepada masyarakat luas. Dengan Merek, produk barang atau jasa sejenis dapat dibedakan asal muasalnya, kualitasnya serta keterjaminan bahwa produk itu asli (original). Dewasa ini banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam melaksanakan kegiatan berusahanya. Di antaranya adalah membuat produk dengan Merek yang hampir sama dengan Merek – Merek terkenal di dunia. Perselisihan antara Merek BMW Jerman dengan Merek BMW Indonesia terkait pendafataran Merek yang dilakukan BMW Indonesia dengan itikad tidak baik. Dimana hakim memutuskan BMW Indonesia tetap dapat menggunakan Mereknya dalam melakukan kegiatan usahanya. Hal ini menimbulkan kerugian besar tidak hanya BMW Jerman namun Merek terkenal di dunia yang melakukan usahanya di Indonesia. Jenis penelitian yang dipakai dalam tesis ini pendekatan yuridis normatif dengan spesifikasi bersifat deskriptif, maksudnya adalah pendekatan yang dilakukan berdasarkan Undang – Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, serta dikaitkan dengan kasus penelitian. Sejarah pengaturan Merek di Indonesia diawali dengan lahirnya Undang – Undang No. 21 Tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan yang menganut sistem pendaftaran Deklaratif (First to Use), artinya timbulnya hak atas Merek tersebut berdasarkan siapa pemakai pertama. Lalu kemudian Undang – Undang No. 19 Tahun 1991 tentang Merek yang menganut Sistem Konstitutif (First to File), artinya timbulnya hak Merek berdasarkan pendaftaran pertama. Kemudian diganti dengan Undang – Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Dengan demikian berdasarkan amar putusan hakim yang mengubah frasa semula “ditolak†menjadi “tidak dapat diterima†terhadap peninjauan kembali yang diajukan BMW Jerman. Hakim berpendapat bahwa berdasarkan Pasal 6 ayat (2) Undang – Undang No. 15 Tahun 2011 tentang Merek dalam hal Merek yang memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya namun barang/jasa tersebut tidak sejenis masih harus diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP). Dimana pada saat itu belum mempunyai peraturan lebih lanjut yaitu PP. Hal tersebut membuat BMW Indonesia masih dapat menggunakan Mereknya untuk melakukan kegiatan usahanya.