Hubungan antara kadar gula darah puasa dan hemoglobin terglikosilasi
L atar belakang : Diabetes melitus adalah kelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan karakteristik hiperglikemia yang dapat menyebabkan komplikasi mikro dan makrovaskuler. Diagnosis dini dan penatalaksanaan yang tepat dapat mengurangi angka kesakitan dan kematian oleh karena diabetes. Walaupun akhir-akhir ini tes hemoglobin A1c (hba1c) mulai banyak digunakan untuk mendiagnosa dan menatalaksana diabetes melitus terutama di negara maju, masih banyak spekulasi terkait apakah tes gula darah puasa (GDP) saja cukup kuat untuk dapat digunakan sebagai sarana diagnosis dan tatalaksana apabila tes hba1c tidak tersedia seperti di kebanyaknya Negara miskin dan berkembang. Metode: Penelitian ini menggunakan desain Cross-sectional Analitik. Sampel yang digunakan adalah 100 orang penderita diabetes tipe 2. Data yang digunakan adalah data sekunder yaitu rekam medik dari pasien yang diperiksakan kadar hba1c dan gula darah puasanya di laboratorium RS Siloam Semanggi dari tahun 2014 sampai 2015. Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariate, dimana analisis bivariate menggunakan uji Pearson dengan program SPSS versi 21. Hasil: Didapatkan hasil model hubungan dengan menggunakan analisis regresi sederhana yang dapat ditulis sebagai : GDP (mg/dl) = (hba1c X 0,03) + 4,51 dengan r = 0,81 yang menandakan adanya korelasi searah yang kuat antara gula darah puasa dengan hba1c. Jenis kelamin tidak begitu berpengaruh terhadap kadar hba1c sedangkan umur dapat mempengaruhi kadar hba1c. Kesimpulan: Semakin tinggi kadar gula darah puasa pasien diabetes melitus tipe 2, maka semakin tinggi kadar hba1c.
B ackground: Diabetes mellitus is a group of metabolic diseases characterized by hyperglycemia can cause micro and macrovascular complications. Early diagnosis and appropriate treatment can reduce morbidity and mortality due to diabetes. Although lately the test hemoglobin A1c (HbA1c) is more often used to diagnose and manage diabetes mellitus, especially in developed countries, there are still a lot of speculation as to whether the test fasting blood glucose (FBG) alone is strong enough to be used as a means of diagnosis and management when the test HbA1c was not available as in many poor and developing countries. Methods: This study used an Analytic cross-sectional design. The samples used were 100 people with type 2 diabetes. The data used are secondary data from the medical records of patients examined in HbA1c and fasting blood glucose at Siloam Hospital Semanggi laboratory from 2014 to 2015. The data were analyzed using univariate and bivariate with the program SPSS version 21. Results: Correlation model is obtained by using simple regression analysis which can be written as: GDP (mg / dl) = (HbA1c X 0.03) + 4.51 with r = 0.81 which indicates the positive direction of a strong correlation between fasting blood sugar with HbA1c. Gender is not so influential on HbA1c levels, while age may affect the levels of HbA1c. Conclusion: The higher fasting blood sugar levels of patients with diabetes mellitus type 2, the higher the levels of HbA1c.