Hubungan kebiasaan mengorek telinga dengan gangguan telinga luar di RSAL Dr. Montohardjo
B erdasarkan survei MenKes RI, gangguan telinga luar merupakan gangguankedua terbanyak dari seluruh penyakit pada telinga. Mengorek telinga merupakanhal yang umum dilakukan di masyarakat. Adanya ketidakpahaman mengenaiperlu atau tidaknya serta dampak yang dapat terjadi akibat dari kebiasaanmengorek telinga, maka perlu dilakukan penelitian apakah kebiasaan mengorektelinga berpengaruh terhadap timbulnya gangguan telinga luar.METODEPenelitian analitik bivariat dengan desain penelitian potong lintang. Berlangsungpada bulan November 2014-Januari 2015 di Poli THT RS TNI-AL Dr.Mintohardjo, Jakarta. Data dikumpulkan dengan cara pengisian kuesioner(meliputi karakteristik sosiodemografi dan kebiasaan mengorek telinga) danrekam medis sebagai bukti diagnosis dokter. Analisis data menggunakan SPSSdengan tingkat kemaknaan dinyatakan signifikan apabila P-value kurang dari0,10.HASILSubjek yang terlibat sebanyak 58 subjek penelitian, 37 (63,8%) laki-laki dan 22(36,2%) perempuan. Usia terbanyak pada kategori usia dewasa (26-45 tahun)sebanyak 26,7%. Tingkat pendidikan terbanyak pada kategori pendidikanmenengah (SMP-SMA) sebanyak 50%. 63,8% subjek berpenghasilan di atasminimum (>Rp2.400.000,-/bulan). 63,8% subjek mengorek telinga kurang dari1x/hari. Cotton bud merupakan alat yang digunakan oleh 74,1% subjek. 44,8%subjek mengorek telinga karena gatal. Impaksi serumen merupakan gangguantelinga luar yang paling sering timbul (62,1%). Didapatkan hubungan signifikanantara variabel frekuensi dengan gangguan telinga luar (P=0,081). Variablefrekuensi berpengaruh signifikan terhadap terjadinya impaksi serumen (P=0.049).Variabel frekuensi <1x/hari berpeluang mengalami impaksi serumen sebesar70,27% dibandingkan dengan gangguan telinga luar lainnya dan 6,303x lebihbesar mengalami impaksi serumen dibanding dengan Variabel frekuensi >1x/hari.KESIMPULANSemakin sedikit jumlah frekuensi akan meningkatkan kecenderungan sesorang untuk mengalami impaksi serumen.
B ased on MenKes RI’s survey, outer ear disorder is the second highest of all eardiseases. Ear scraping is a common practice in the community. The existence ofignorance about whether or not and the impact that may occur as a result of thehabit of ear scraping, it is necessary to study whether habit of ear scraping effecton outer ear disorder.METHODSThis research is analytic bivariate with cross-sectional study design. Took place inNovember 2014-January 2015 at ENT Poly of RS TNI-AL Dr. Mintohardjo,Jakarta. Data were collected by means of questionnaire (coveringsociodemographic characteristics and habits of ear scrapings) and the medicalrecord as proof of a doctor's diagnosis. Data analysis using SPSS with significanceis expressed significant if the P-value less than 0,10.THE RESULTSSubjects involved as many as 58 subjects, 37 (63,8%) male and 22 (36,2%)female. Mature age category (26-45 years) is the most common as much as26,7%. The most common level of education is secondary education category(SMP-SMA) as much as 50%. 63,8% subject’s economic status is income abovethe minimum (>Rp2.400.000,-/month). 63,8 % subjects scrape ear <1x /day.Cotton bud is a tool used by 74,1 % of the subjects. 44,8 % of the subjects scrapebecause of itchy ears. Cerumen impaction is most common of outer ear disorder(62,1%). Obtained a significant association between the frequency of ear scrapingand outer ear disorders (P=0,081). The frequency variable has significant effect onthe occurrence of impacted cerumen (P=0,049). The frequency <1x/day variablelikely to become impacted cerumen 70.27 % as compared with other external eardisorders and 6,303x more likely to have impacted cerumen compared with Thefrequency >1x/day variable.CONCLUSIONThe less frequency will increase the likelihood to become impacted cerumen compared with other external ear disorders