Penolakan hakim terhadap status Justice Collaborator terdakwa dalam tindak pidana korupsi dalam Kasus Nomor: 255 PK/PID.SUS/2014)
P Penggunaan Justice Collaborator dalam peradilan pidana merupakan salah satu bentuk upaya luar biasa yang dapat digunakan untuk memberantas tindak pidana korupsi yang melibatkan pelaku tindak pidana itu sendiri, dimana pelaku tersebut bersedia bekerjasama dengan aparat penegak hokum dalam membongkar kejahatan korupsi. Justice Collaborator merupakan salah satu pelaku tindak pidana dan mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.Rumusan Masalah yaitu 1) Bagaimana kualifikasi seorang saksi / terdakwa untuk mendapatkan status Justice Collaborator? 2). Bagaimana akibat hokum terhadap Justice Collaborator terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan?3). Bagaimanakah dasar penolakan Hakim dalam menetapkan seorang Terdakwa sebagai Justice Collaborator? Metode yang di gunakan di dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, data yang di gunakan adalah data primer dan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hokum sekunder dan bahan hokum tersier.Untuk analisis data dilakukan dengan metode analisis yuridis kualitatif. Penulis menggunakan teori Lawrence M. Friedman tentang kepastian hokum dan Negara hokum pancasila dari Otje Salman dan Anthon F. SusantoHasil penelitian menunjukan bahwa, 1) Kualifikasi seorang saksi/terdakwa untuk mendapatkan status Justice Collaborator yaitu tersangka bukanlah pelaku utama, mengakui perbuatannya, dan mengembalikan asset hasil kejahatan, tidak melarikan diri. Untuk menjadi justice collaborator, seorang tersangka atau terdakwa harus memiliki keinginan untuk bekerja sama dengan aparat penegak hukum, bukan karena dipaksa oleh pihak lain. Bila memilih untuk menjadi justice collaborator dan memenuhi syarat, 2) Akibat hokum terhadap Justice Collaborator terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan maka hak-haknya sebagai tersangka atau terdakwa tidak akan dirugikan, justru memperoleh protection, treatment, dan reward. Dengan demikian aparat penegak hokum mendapat keuntungan dengan kerjasama tersebut, yaitu dapat dibongkarnya kejahatan serius. Sedangkan justice collaborator memperoleh sejumlah hak yang tak diterima oleh pelaku lainnya yang tidak berstatus sebagai justice collaborator. 3) Dasar penolakan Hakim dalam menetapkan seorang Terdakwa sebagai Justice Collaborator adalah terpidana / Pemohon Peninjauan Kembali bukan orang pertama yang membongkar atau melaporkan perkara a quo, sebaliknya justru Terpidana / Pemohon Peninjauan Kembali yang dilaporkan. Selain itu terpidana tidak mempunyai peran agar para pelaku lainnya mengembalikan kerugian Negara dan Terpidana juga tidak menyerahkan asset hasil kejahatan.