Hiperplasia gingiva sebagai efek non terapi fenitoin pada anak penderita epilepsi
E pilepsi dikenal sebagai penyakit tertua dan menempati urutan kedua dc'I penyakit syaraf setelah stroke. Di Indonesia diperkirakan ada 900 000- 1.800.000 penderita epilepsi. Berdasarkan etiologi, epilepsi dibagi menjadi dua kelompok yaitu epilepsi idiopatik dan epilepsi simtomatik. Fenitoin adalah obat antiepilepsi pilihan pertama karena efektif untuk bangkitan tonik-kloni . parsial atau fokal dan harganya relatif murah. Penggunaan fenitoin sebaga, obat antiepilepsi, menimbulkan hiperplasia gingiva. Keadaan ini mula-mula muncul pada daerah papila interdental kemudian gingiva dapat mem:tup mahkota gigi, mengganggu mastikasi dan estetik. Faktor iritasi lokal seper.i gigi tiruan, plak, alat ortodonti, kebersihan mulut yang buruk dan restorasI yang buruk dapat memperburuk keadaan tersebut. Kontrol plak berka,a sangat diperlukan selama perawatan. Hampir 30% penderita yang mengalami hiperplasia gingiva membutuhkan tindakan bedah.
E pilepsy was the aides and secondary distrubances of the nervous system after stroke. It has been estimated that 900.000 -1.800.000 people in Indonesia have epilepsy. There are two categories etiology of epilepsy idiopathic and symtomatic. Phenytoin is the first chaise anticonvulsan for treatment of tonic-clonic seizures, partial or focal epilepsy. Phenytoin is assosiated with gingival hyperplasia. Clinicaly it starts as a diffuse swelling of the interdental papillae and it could be covered the crown, creating and apparent mastication and esthetic problem. The hyperplasia may be initiated and exacerbated by local iritation from the denture, plaque, orthodontic appliance, poor or nonexistent oral hygiene. The patient needs control plaque periodically. Severe hyperplasia require surgical intervention in about 30 % of affected patient.