Hubungan tingkat pengetahuan farmakovigilans dengan perilaku pelaporan kejadian tidak diinginkan pada tenaga kesehatan
K Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) adalah seluruh kejadian medis yang terjadi selama jalannya proses terapi obat tetapi belum dapat dipastikan memiliki kaitan dengan obat tersebut. Farmakovigilans membantu mengurangi risiko bahaya dengan memastikan obat-obatan berkualitas baik digunakan secara tepat dan juga menjadi pertimbangan saat keputusan terapeutik kepada pasien dibuat. Sampai pada saat ini sistem pelaporan dan pemantauan efek samping obat (ESO) di Indonesia masih bersifat sukarela, sehingga budaya pelaporan tidak berkembang dengan baik seperti yang tercermin dari kesenjangan yang besar antara efek samping obat yang ditemukan dan perilaku pelaporan efek samping obat di antara tenaga kesehatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya hubungan antara tingkat pengetahuan farmakovigilans dengan perilaku pelaporan kejadian tidak diinginkan pada tenaga kesehatan.METODEPenelitian ini menggunakan studi cross-sectional dengan pemilihan sampel consecutive non random sampling yang diikuti oleh 91 responden. Data dikumpulkan dengan cara wawancara dan mengisi kuesionoer tingkat pengetahuan farmakovigilans dan kuesioner perilaku pelaporan KTD. Analisis data dilakukan dengan uji Chi-Square menggunakan perangkat SPSS versi 23 dengan tingkat kemaknaan p<0,05HASILBerdasarkan hasil didapatkan dari 91 tenaga kesehatan yang memiliki pengetahuan farmakovigilans kurang 54,9% sedangkan perilaku pelaporan KTD positif 74,7%. Analisis menggunakan uji chi-square, dengan hasil bivariat hubungan tingkat pengetahuan farmakovigilans dengan perilaku pelapotan KTD didapat nilai p=103 (p>0,005)KESIMPULANPenelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan farmakovigilans dengan perilaku pelaporan KTD pada tenaga kesehatan
A Adverse Event (AE) are all medical events that occur during the drug therapy process but have not been confirmed to be related to the drug. Pharmacovigilance helps reduce the risk of harm by ensuring that good quality medicines are used appropriately and are also taken into account when therapeutic decisions for patients are made. Until now, the reporting and monitoring system for drug side effects (ESO) in Indonesia is still voluntary, so the reporting culture is not well developed as reflected in the large gap between drug side effects found and drug side effect reporting behavior among health workers. . The purpose of this study was to determine the relationship between the level of pharmacovigilance knowledge and behavior reporting undesirable events to health workers.METHODThis study used a cross-sectional study with the selection of consecutive non-random sampling samples followed by 91 respondents. The data was collected by interviewing and filling out pharmacovigilant level knowledge questionnaires and KTD reporting behavior questionnaires. Data analysis was conducted with Chi-Square test using SPSS version 23 device with a value level of p<0.05RESULTBased on the results obtained from 91 health workers who have knowledge of pharmacovigilance less 54.9% while the behavior of positive AE reporting 74.7%. Analysis using chi-square test, with bivariate results related to the knowledge level of pharmacovigilance with AE removal behavior obtained value p=103 (p>0,005)CONCLUSIONThis study shows that there is no relationship between the level of pharmacovigilance knowledge and the behavior of reporting adverse events to health workers.