DETAIL KOLEKSI

Pengaruh tanin pada proses dekomposisi Kulit Kayu Acacia Mangium Willd berdasarkan perbandingan unsur hara


Oleh : Oscar

Info Katalog

Penerbit : FALTL - Usakti

Kota Terbit : Jakarta

Tahun Terbit : 2001

Pembimbing 1 : Hilman Affandi

Pembimbing 2 : Budi Rahayu

Subyek : Tannins;Compost;Bark

Kata Kunci : tannins, manure, composting

Status Posting : Published

Status : Lengkap


File Repositori
No. Nama File Hal. Link
1. 2001_TA_STL_08293050_Halaman-Judul.pdf
2. 2001_TA_STL_08293050_Lembar-Pengesahan.pdf
3. 2001_TA_STL_08293050_Bab-1_Pendahuluan.pdf
4. 2001_TA_STL_08293050_Bab-2_Tinjauan-Pustaka.pdf
5. 2001_TA_STL_08293050_Bab-3_Metode-Penelitian.pdf
6. 2001_TA_STL_08293050_Bab-4_Hasil-dan-Pembahasan.pdf
7. 2001_TA_STL_08293050_Bab-5_Kesimpulan-dan-Saran.pdf
8. 2001_TA_STL_08293050_Daftar-Pustaka.pdf
9. 2001_TA_STL_08293050_Lampiran.pdf

A Acacia mangium yang merupakan tanaman Hutan Tanaman Industri (HTI) berkembang cepat seiring dengan semakin meningkatnya kebutuhan akan kertas. Di Indonesia setiap tahun lahan HTI bertambah luas, namun permasalahan lain yang timbul adalah tumpukan limbah padat yaitu berupa kulit kayu yang tidak dapat dimanfaatkan menjadi bahan kertas. Solusi yang dilakukan oleh pihak terkait untuk memperkecil ketergantungan limbah kulit kayu akan lahan, dimana limbah dalam jumlah yang besar harus ditampung atau dikumpulkan pada lahan yang sangat terbatas, sehingga keputusan yang diambil adalah dengan cara dibakar. Hal inilah yang menimbulkan polusi udara dan dapat menganggu kesehatan masyarakat sekitar.Salah satu jalan keluar untuk memanfaatkan kulit kayu Accacia mangium adalah dengan menjadikan kompos. Namun seperti diketahui dari literatur ternyata kandungan tanin yang terbesar berada di dalam kulit kayu, dengan rata-rata kandungan tanin 34,38% untuk seluruh bagian pada kulit kayu (ujung, tengah, pangkal). Kandungan sebesar ini merupakan hambatan bagi mikroorganisme untuk dapat menguraikannya, karena berdasarkan sifat fisik, tanin mempunyai daya bakterostatik, fungistatik dan merupakan racun.Dilakukannya suatu penelitian adalah dengan maksud untuk melihat hambatan yang terjadi selama proses pengomposan, yang berdasarkan selisih kenaikan maupun penurunan unsur hara terhadap variasi waktu diatasnya, dan dibandingkan dengan seluruh kode pengomposan baik Tanin maupun Non Tanin.Dari hasil yang diperoleh, ternyata terlihat kenaikan maupun penurunan unsur hara yang berbeda. Dimana perbedaan yang sangat jelas, berada pada Tanin A (100 hr pupuk kandang) yang umumnya merupakan selisih terkecil dari 0 ke 2 minggu. Namun terbalik dengan Tanin A (300 gr pupuk kandang) yang merupakan selisih kenaikan unsur hara terbesar pada waktu yang sama, sedangkan pada Non Tanin A dan Non Tanin B umumnya mempunyai kandungan unsur hara yang lebih kecil daripada Tanin A dan Tanin B di akhir proses (variasi waktu 6 minggu). Hal ini disebabkan hilangnya unsur ataupun senyawa organik akibat ekstraksi tanin.Bahwa dari analisa data hasil penelitian, ternyata jumlah mikroorganisme yang lebih banyak (300gr pupuk kandang) pada Tanin B dapat menguraikan tanin lebih cepat.Dengan adanya kode pengomposan yang berbeda dan kandungan unsur hara yang dihasilkannya pun berbeda berdasarkan variasi waktu, merupakan pilihan tersendiri untuk melakukan usaha pengomposan.

A Acacia mangium, which is an Industrial Plantation Forest (HTI) plant, is growing rapidly in line with the increasing need for paper. In Indonesia every year the HTI land area increases, but another problem that arises is the pile of solid waste, which is in the form of bark which cannot be used as paper material. The solution made by related parties is to reduce the dependence of bark waste on land, where large amounts of waste must be collected or collected on very limited land, so the decision taken is by burning it. This is what causes air pollution and can disrupt the health of the surrounding community.One way out for utilizing Accacia mangium bark is to make compost. However, as is known from the literature, it turns out that the largest tannin content is in the bark, with an average tannin content of 34.38% for all parts of the bark (tip, middle, base). The content of this size is an obstacle for microorganisms to be able to decompose it, because based on its physical properties, tannins have bacterostatic, fungistatic and toxic properties.The research was carried out with the intention of looking at the obstacles that occurred during the composting process, which was based on the difference between the increase and decrease in nutrients over time variations, and compared with the entire composting code, both tannins and non-tannins.From the results obtained, it turns out that there is an increase or decrease in different nutrients. Where the difference was very clear, was in Tannin A (100 hr of manure) which is generally the smallest difference from 0 to 2 weeks. However, the opposite is true for Tannin A (300 grams of manure), which is the difference between the largest increase in nutrients at the same time, whereas in Non Tannins A and Non Tannins B generally have less nutrient content than Tannins A and Tannins B at the end of the process ( time variation of 6 weeks). This is due to the loss of elements or organic compounds due to tannin extraction.Whereas from the analysis of research data, it turns out that the higher number of microorganisms (300gr of manure) in Tannin B can break down the tannins more quickly.With different composting codes and different nutrient content based on time variations, it is a separate option for composting business.

Bagaimana Anda menilai Koleksi ini ?