Evaluasi hidrolika sistem lumpur pemboran pada sumur MH - 3 Lapangan Job Pertamina - Talisman Jambi Merang
L umpur pemboran menjadi salah satu pertimbangan dalam mengoptimalkan operasi pemboran. Oleh sebab itu, perlu untuk memelihara dan mengontrol sifat-sifat fisik lumpur pemboran agar sesuai dengan yang diinginkan. Untuk mendesain sistem lumpur yang akan digunakan, harus diketahui jenis formasi yang akan ditembus. Terlebih jika dilakukan di lepas pantai dimana karakter dan sifat lapisan yang berbeda-beda. Banyak permasalahan yang akan timbul selama operasi pemboran bila lumpur yang digunakan tidak sesuai. Lumpur juga berpengaruh terhadap laju penembusan selama melakukan kegiatan pemboran. Dalam operasi pemboran selalu diinginkan laju penembusan yang tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti formasi batuan yang ditembus, hidrolika lumpur, hidrolika bit, serta sistem lumpur yang digunakan. Sistem lumpur yang diharapkan adalah sistem lumpur dengan biaya ekonomis dan memberikan hasil yang terbaik dengan cara kerja yang efektif dan optimal, serta mampu meminimalisir kegagalan. Dengan demikian, hal ini akan memberikan efek keuntungan yang meningkat terhadap perusahaan. Kegiatan pemboran di Lapangan MH, JOB Pertamina – Talisman Jambi Merang bertujuan untuk membuktikan atas penemuan gas kondensat dari Formasi Baturaja. Formasi yang ditembus secara berurutan adalah Formasi Muara Enim, Air Benakat, Upper Gumai, Baturaja, Pendopo (Lower Gumai), dan Talang Akar. Berdasarkan evaluasi, masalah pemboran yang dialami pada sumur pemboran di Lapangan MH, antara lain hole packing off, tight spots, dan bit balled-up. Pada sumur MH – 3, khususnya trayek lubang 12-1/4 dan 8-1/2, didapati laju penembusan menurun. Sejauh ini, hal tersebut disebabkan karena pengangkatan cutting yang tidak sempurna atau dengan kata lain hole cleaning yang tidak baik. Setelah dianalisa dan dievaluasi, pengangkatan cutting pada pemboran trajectory 12-1/4 dan 8-1/2 sumur MH – 3 sudah berjalan secara optimum dengan nilai Cutting Transport Ratio (Ft) > 90%, Cutting Concentration (Ca) < 5%, dan PBI = 1, meskipun hidrolika yang bekerja pada bit rata-rata masih di bawah kondisi optimum, yaitu 65%. Sedangkan untuk sistem lumpur yang digunakan pada sumur MH – X adalah trayek lubang 26 (0 – 300 ft) menggunakan sistem lumpur Spud Mud, trayek lubang 16 (300 – 2200 ft) menggunakan sistem lumpur Spud Mud, trayek lubang 12-1/4 (2200 – 5400 ft) menggunakan sistem lumpur KCl- Polimer/PHPA, dan trayek lubang 8-1/2 (5400 – 6300 ft) menggunakan sistem lumpur KCl-Polimer/PHPA
D rilling mud is one of the considerations in optimizing drilling operations. Therefore, it is necessary to maintain and control the physical properties of the drilling mud so as desired. To design the mud system to be used, must be known type of formation to be penetrated. Especially if done offshore where the character and nature of the different layers. Many of the problems that will arise when the mud during drilling operations that use is not appropriate. Mud also affects the rate of penetration during drilling activities. In drilling operations, it is always desired to have high penetration rates, that is influenced by several factors such as penetrated rock formations, mud hydraulics, hydraulics bit, and mud systems that are used. Mud system is expected to be at an economical cost and provide the best results by working effectively and optimally, and able to minimize failures. Thus, this will give the effect of increasing the companys profits. Drilling in the MH Field, JOB Pertamina – Talisman Jambi Merang aims to prove the discovery of gas condensate from Baturaja Formation. In this operation, formations that have been penetrated are Muara Enim Formation, Air Benakat, Upper Gumai, Baturaja, Pendopo (Lower Gumai), and Talang Akar respectively. Based on the evaluation, drilling problems experienced in drilling wells in Field MH, among other hole packing off, tight spots, and balled-up bits. In well MH – 3, in particular hole stretch 12-1/4 and 8-1/2, the rate of penetration happens to decrease. So far, it is because of the selection of an imperfect cutting or it doesnt dry well hole. Having analyzed and evaluated, the removal of the cutting of trajectory drilling 12-1/4 and 8-1/2 wells MH – 3 run at its optimum with a value of Cutting Transport Ratio (Ft) > 90%, Cutting Concentration (Ca) < 5 %, and PBI = 1, although the hydraulics work on average, the bit is still under optimum conditions, i.e. 65%. As for the mud system used in wells MH – X, the hole stretch 26 (0 – 300 ft) uses Spud Mud mud system, the hole stretch 16 (300 – 2200 ft) uses a slurry system Spud Mud, 12-1/4 hole stretch (2200 – 5400 ft) uses KCl-Polimer/PHPA mud system, and stretch the hole 8-1/2 (5400 – 6300 ft) uses KCl-Polimer/PHPA mud system