A Aktivitas penambangan batubara di indonesia, khususnya di kalimantan timur, seringkali meninggalkan sisa lubang tambang (void) yang luas dan tidak dapat direklamasi ke kondisi rona awal, terutama akibat dari stripping ratio yang besar sehingga mengakibatkan defisit overburden. salah satu perusahaan tambang batubara terbesar di kalimantan, pt xzy yang berlokasi di kabupaten paser, kalimantan timur, memiliki satu pit yang akan direklamasi dan meninggalkan void yang berpotensi menjadi danau pascatambang atau pit lake. terbentuknya pit lake ini menimbulkan tantangan signifikan terkait kualitas air, terutama potensi pembentukan air asam tambang (aat) yang dapat mencemari lingkungan. pembentukan aat terjadi ketika mineral sulfida seperti pirit (fes2) yang terekspos di dinding pit bereaksi dengan udara dan air, menghasilkan larutan asam yang kaya akan logam berat. penelitian ini bertujuan untuk memprediksi kualitas air di pit lake yang akan terbentuk di pit a, pt xzy, dengan menganalisis karakteristik geokimia batuan di sekitarnya. dengan memahami interaksi kompleks antara hidrologi, geologi, dan kimia, penelitian ini diharapkan dapat memberikan langkah-langkah mitigasi yang tepat untuk menjaga kelestarian lingkungan. ruang lingkup penelitian ini berfokus pada analisis data sekunder yang mencakup data curah hujan selama 15 tahun (2010-2024), desain akhir pit, serta hasil uji laboratorium terhadap karakteristik fisik dan kimia dari sampel air hujan, air sump, dan 13 sampel batuan yang mewakili formasi geologi di pit a. analisis prediksi kualitas air dilakukan menggunakan perangkat lunak geokimia phreeqc, dengan fokus pada parameter ph dan konsentrasi logam total. metodologi penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang mengintegrasikan dua model utama, yaitu model hidrologi dan model geokimia. model hidrologi digunakan untuk memperkirakan waktu yang dibutuhkan void untuk terisi penuh serta dinamika volume air. berdasarkan analisis data curah hujan dari nasa power, debit air rata-rata yang masuk ke void diperkirakan sebesar 0,155 m3/s. dengan total volume void yang harus diisi sebesar 34.340.383,66 m3 hingga mencapai elevasi 60 mdpl, diperkirakan waktu yang dibutuhkan untuk pengisian penuh adalah sekitar tujuh tahun. model geokimia difokuskan pada pemetaan persebaran batuan berpotensi pembentuk asam (potentially acid forming - paf) dan batuan yang tidak berpotensi membentuk asam (non-acid forming - naf). dari 13 sampel batuan yang diuji secara kinetik, 3 sampel diidentifikasi sebagai paf dan 10 sampel sebagai naf. data ini, bersama dengan hasil uji kualitas air lindian dari sampel paf dan naf, air hujan, dan air sump, menjadi masukan utama untuk pemodelan geokimia menggunakan phreeqc. proses pemodelan dilakukan melalui tujuh skema pencampuran (mixing scheme), yang masing-masing merepresentasikan kondisi kualitas air tahunan selama proses pengisian pit lake. hasil prediksi kualitas air menunjukkan dinamika yang signifikan selama periode tujuh tahun. meskipun terdapat lapisan batuan paf yang berpotensi menurunkan ph, hasil pemodelan menunjukkan bahwa kualitas air pit lake secara keseluruhan akan cenderung netral. pada tahun pertama, ph diprediksi sebesar 7,185, kemudian mengalami sedikit penurunan pada tahun-tahun berikutnya, mencapai titik terendah 6,970 pada tahun kelima, sebelum akhirnya kembali meningkat dan stabil di angka 7,086 pada tahun ketujuh, yaitu saat pit lake terisi penuh. tren pemulihan ini didukung oleh penurunan konsentrasi sulfat (so4) dari 16,745 mg/l menjadi 11,106 mg/l, yang mengindikasikan perlambatan laju pembentukan aat. namun, perlu dicatat adanya penurunan konsentrasi ion penyangga seperti kalsium (ca) dan magnesium (mg), yang menandakan berkurangnya kapasitas penetralan alami air seiring waktu. di sisi lain, konsentrasi logam berat seperti besi (fe) dan mangan (mn) menunjukkan sedikit peningkatan, sementara konsentrasi aluminium (al) diprediksi tetap rendah, yang merupakan indikator positif bagi kehidupan akuatik. simulasi menunjukkan bahwa konsep pengenceran kimia sederhana tidak akurat untuk kondisi lapangan karena mengabaikan masukan mineral dari air hujan, menghasilkan perbedaan signifikan pada konsentrasi akhir dibandingkan dengan model realistis.