Analisis yuridis terhadap pembatalan perkawinan (studi kasus putusan nomor 0601/PDT.G/2012/P.ABWI)
P Perkawinan pada dasarnya adalah “suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk suatu hubungan rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esaâ€. Oleh sebab itu maka antara laki-laki dan perempuan yang telah saling mencintai dapat melangsungkan perkawinan sesuai dengan ketentuan agama dan kepercayaan masing-masing. Mengacu kepada aturan-aturan yang berlaku dalam agama dan kepercayaan masing-masing yang tercantum dalam ketentuan Pasal 10 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Perkawinan. Dalam masa sekarang ini tidak sedikit orang yang menodai arti suci suatu perkawinan. Baik karena hal yang dapat menguntungkan diri sendiri maupun menguntungkan pihak tertentu saja sehingga ternodai arti suci perkawinan tersebut dengan sebuah perceraian atau pembatalan perkawinan yang merupakan suatu hal yang dibenci oleh Tuhan Yang Maha Esa. Berdasarkan kasus ini pembatalan perkawinan termasuk kedalam putusan hakim. Suatu pembatalan perkawinan yang menurut undang-undang perkawinan dikatakan “perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syara tuntuk melangsungkan perkawinanâ€. Adanya beberapa syarat-syarat yang dianggap tidak sah atau tidak memenuhi syarat seperti palsunya identitas para pihak atau palsunya identitas salah satu mempelai sehingga dikemudian hari timbulnya kerugian bagi pihak lain terutama pasangan karena terdapatnya identitas palsu tersebut. Pembatalan juga dapat digunakan apabila berlangsung karena berada dalam paksaan atau salah satu pihak merasa perkawinan tersbut karena kekeliruan.